Header Ads Widget

blog pustakawan sekolah

Pustakawan Unggul Pendukung Gerakan Literasi Sekolah Berbasis Teknologi Informatika

 A. Pendahuluan

          Sejak tahun 2016 Kemerntrian Pendidikan dan Kebudayaan Republikm Indonesia (Kemendikbud RI) menggiatkan Gerakan Literasi Nasional (GLN) sebagai bagian dari pelaksanaan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Permendikbud) Nomor 23 tahun 2015 tentang penumbuhan budi pekerti. Dalam hal pengefektifan pelaksanaan program-program penumbuhan budi pekerti bagi seluruh insan Pendidikan dan civitas akadmika tersebut, msks Kemendikbud membentuk kelompok-kelompok kerja GLN yang lebih spesifik, guna mengkoordinasikan berbagai kegiatan literasi yang menyasar pada kebutuhan negara terhadap peningkatan Sumber Daya Manusia (SDM) tang unggul. Hal ini sejalan dengan visi dan misi Presiden RI Jokowi Widodo pada periode pertama kepemimpinannya (2014-2019) untuk melaksanakan revolusi mental rakyat, sehingga rakyat sungguh mampu teredukasi, berdaya saing tinggi, dan melek teknologi mutakhir sesuai dengan perkembangan zamannya.

    Bersamaan dengan itu, Direktorat Jendral Pendidikan Dasar dan Menengah mengembangkan Gerakan Literasi Sekolah (GLS) untuk meningkatkan day abaca siswa dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa pada masa itu (sejak 2019 berubah menjadi Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan0, menggerakkan literasi bangsa dengan menerbitkan buku-buku pendukung bagi siswa yang berbasis pada kearifan local. Slain itu, pada tahun 2017 Direktorat Jendral Gurudan Tenaga Kependidikan (Ditjen GTK) menggagas Gerakan Satu Guru Satu Buku untuk meningkatkan kompetensi dan kinerja Guru. Dalam kegiatan pembelajaran baca dan tulis juga memerlukan sinegritas dengan Perpustakaan Sekolah yang kompeten dalam menyajikan berbagai macam bacaan. Perpustakaan Sekolah dalam GLS memegang peranan kunci sebagai pusat sumber belajar.

    Menurut Bafadal Ibrahim dalam bukunya yang berjudul “Pengelolaan Perpustakaan Sekolah”, Perpustakaan Sekolah merupakan bagian penting dari proses belajar mengajar, yang salah satu fungsinya adlah edukatif. Fungsi edukatif ini menempatkan Perpustakaan Sekolah sebagai penyedia berbagai buku seperti fiksi maupun non-fiksi, sehingga Murid-Murid dapat membiasakan belajar mandiri, serta membantu Guru dan Murid untuk menyelesaikan tugas-tugas sekolahnya, bahkan hingga mempermudah Siswa mencapai tujuan belajarnya. Selain itu, di Perpustakaan Sekolah, para pustakawan juga mendapat wewenang menyediakan buku-buku melalui proses pengadaan. Buku-buku tersebut diseusaikan dengan kurikulum sekolah, sehingga muaranya menunjang penyelenggaraan Pendidikan di sekolah tersebut (Bafadal, 2014:5-7). Para Pustakawan sekolah haruslah ditempatkan atau setidaknya pihak sekolah menempatkan mereka “sebagai” dan “menjadi” manusia-manusia ber-SDM unggul. Keunggulan SDM yang baik, berkompeten, dan berintegritas menjadi senjata utama Sekolah-Sekolah dalam mewujudkan GLS yang telah dicanangkan pemerintah, oleh sebabt itu dalam artikel ini, penulis ingin memaparkan bentuk-bentuk dukungan apa yang bisa diberikan Pustakawan sekolah dalam menjawab tantangan GLS tersebut. Selain itu, artikel inijuga ingin membedah penguasaan piranti-piranti Teknologi Informasi (Inggris: Information Technology)  yang menjadi keunggulan Pustakawan Sekolah, guna menyajikan kebutuhan literasi digital yang saat ini sedang digandrungi generasi milenial saat ini.

B. Pembahasan

    Pustakawan Sekolah yang setiap hari bergelut dengan Siswa dan Guru yang dinamis tentu membutuhkan pemahaman lebih, ketika Pustakawan harus mampu menyesuaikan diri dengan kebutuhan zamannya. Pustakawan seklah tidak boleh abai terhadap kemajuan Teknologi Infromasi dan mampu menyajikan bahan bacaan yang akurat, presisi, jelas terbaca, dan wujud fisik maupun digital yang utuh. Dalam mencapai semua hal tersebut seorang Pustakawan sekolah yang dianggap unggul adalah manusia-manusia yang menurut Marselius Sampe Tondok selaku pakar psikologi social, memungkinkan untuk mengelola perubahan mental (Inggris: Managing Change) (Tondok, 2009: 139-146). Ketika zaman modern menuntut manusia untuk berubnah secara cepat, semakin sulit diprediksi, dan menuntu persaingan ketat, maka para Pustakawan Sekolah dianjurkan untuk tidak reaksioner, memilih menunggu, dan menghindari resiko.

Pustakawan Sekolah yang unggul harus mengambil peran dengan cepat dan tangkas, ataua bahkan bersikap tidak memiliki makna hidup berkelanjutan, hanya sekedar mengalir mengikuti alur hidup, dan hanya menerima nasib profesi Pustakawan Sekolah sebagai profesi yang ala kadarnya, atau hanya sekedar mendaptkan gaji serta tunjangan bulanan (Inggris: Meaningless). Kondisi ini diperparah lagi dengan komunikasi dengan komunikasi dengan pihak Sekolah yang tidak berjalan sebagaimana mestinya untuk saling mendukung, serta mengupayakan kehidupan GLS yang benar-benar kondusif, tertata, dan berkesinambungan. Para Pustakawan Sekolah yang dibekali kemampuan penguasaan IT yang bai, seyogyanya akan berjuang untuk mengangkat derajat profesinya agar lebih bermartabat, paham akan tugas, hak, dan kewajibannya sebagai Pustakawan yang memiliki kompetensi dan gairah hidup (Inggris: Meaningfull). Selain itu, bila merujuk pada jargon mahasiswa jurusan Ilmu Perpustakaan Universitas Diponegoro sejak tahun 2011, yakni “Pustakawan Kawan Semua Golongan’, seharusnya dengan segala tantangan kemajuan zaman ini, para Pustakawan Sekolah memiliki bekal kemampuan komunikasi yang mampu menjadi “Kawan Semua Golongan” ini. Mereka setara sebagai manusia unggul yang dibekali kompetensi dan pesan negara untuk menyukseskan GLS. Di samping itu, mereka seharusnya mampu melobi para pengambil kevijakan di sekolah, berinovasi melalui serangkaian kegiatan perkumpulan seprofesi di tingkat daerah dan nasional bahkan internasional, dan rajin membagikan pengetahuan mereka seputar perkembangan pengelolaan Perpustakaan Sekolah melalui beragam media massa maupun sosial.

    Demi mendukung seluruh rangkaian proses perubahan mental Pustkawan Sekolah yang ungguldan modern tersebut, setidaknya di masing-masing sekolah juga harus didukung sistem pelayanan Perpustakaan yang baik. Menurut kajian Nanik Arkiyah dari Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta, sistem pelayanan Perpustakaan Sekolah bisa dibagi menjadi dua bentuk, serta ada pula kelebihan serta kekurangannya. 

Pertama, Sistem Pelayanan tertutup (Close Access). Pengunjung tidak boleh masuk ke ruangan koleksi, tetapi yang dibutuhkannya harus dia,mbilkan oleh petugas.  Penelususran/ pencarian koleksi harus melaljui katalog dan kemajuan sistem pencarian koleks secara digital. Petugas akan melakukan kgiatan pencatatan layanan sirkulasi dan shelving. Adapun lkelbihan dan kekurangan sistem pelayanan tertutup adalah susunan dan tata letak terpelihara, serta tidak perlu ada petugas khusus untuk mengawasi pengguna. Hal ini terjadi disebabkan seluruh ruang Perpustakaan terpasang CCTV yang mampu menajaga kenyamanan pembaca, perilaku pencurian, dan bahkan perusakan koleksi. Akan tetapi, dibalik itu ada beberapa kekukrangan antara lain kebebasan melihat buku tidak ada dan penyediaan katalog harus lengkap.

    Kedua, Sistem Pelayanan Terbuka (Inggris: Open Access). Sistem pelayanan trbuka Perpustakaan memberi kebebasan kepada pengguna untuk dapat masuk dan memilih snediri koleksi yang diinginkannya dari rak. Petugas hanya mencatat apabila ada kegiatan sirkulasi. Adapun kelebihannya adalah pengguna bebas memilih bukunya sendiri, kebebasan ini yang menimbulkan rangsangan untuk membaca, jika buku yang dikehendaki tidak ada, dapat memilih buku lain dengan subyek atau topik yang sama. Sementara kekurangannya adalah susunan buku dalam rak menjadi sulit teratur, dan kemungkinan banyak buku yang hilang. Meskipun kelemahan-kelemahan ini masihg  isa ditutupi apabila seluruh koleksi Perpustakaan Sekolah mempunyai teknologi yang canggih untuk menjada koleksi yang ada (Arkiyah, 2017:11-12).

    Kondisi ideal dengan segala bentuk sistem pelayanan Perpustakaan Sekolah berbasis IT, maupun keberadaan para Pustakawan Sekolahnya yangunggul diharapkan pula tidak hanya mendukung gerakan GLS saja, akan tetapi juga ikut mendukung Mendikbud Nadiem Makariem mengenai “Merdeka Belajar” sejak akhir tahun 2019. Merdeka belajar mneurut Tati D Wardi dalam rubrik Opini Kompas pada Sabtu, 15 Februari 2020 lalu, ingin menegaskan bahwa konsep literasi baca yang menjadi focus pengembangan sumber daya manusia Indonesia tidak bisa semata-mata digelar, tanpa melihat kondisi realitas kebutuhan dan acuan parameter yang jelas.

Baca Juga: Smart Library Disaat Pandemi Covid – 19 

    Ia secara khusus menyoroti Kemendikbud yang menjadikan salah satu indicator kesuksesan literasi baca masyarakat Indonesia melalui Parameter for International Student Assesment (PISA). Indicator ini baik, namun menafikan hal-hal krusial yang smestinya menjadi acuan para penyelenggara Pendidikan untuk memenuhi kebutuhan dasar terlebih dahulu, baru melihat inovasi-inovasi keterampilan membaca, serta materi bacaan lainnya. Ketika para Pustakawan Sekolah, Guru, dan Murid diajak untuk mendukung program-program ini, mereka secara tidak langsung tidak sadar bahwa literasi baca adalah kegiatan yang melibatkan keterampilan kognisi (baca: KBBI, 2008:712 – kegiatan atau proses memperoleh pengetahuan (termasuk kesadaran, perasaan, dan sebagainya) atau usaha mengenali ssuatu melalui pengalaman sendiri) dan linguistic (Bahasa) untuk tujuan tertentu. 

    Kesadaran literasi baca yang baik akan mengantarkan para murid yang terampil pada kecintaan mereka pada kegiatan bac aitu sendiri. Mereka yang terampil mendapatkan ruang yang lebih untuk secara otomatis ketika berhadapan dengan teks, ia akan menjalani rangkaian proses membaca dari memahami, menggunakan, mengevaluasi, hingga merefleksikan teks, bagi murid yang tiddak mampu mereka akan menghadapi masalah krusial saat membaca, yaitu, evaluasi dan refleksi. Dua masalah krusial ini membutuhkan proses pembelajaran yang terstruktur, dan sinegritas antar para pendukung kegiatan Pendidikan. Oleh sebab itu, penyediaan teknologi untuk mendukung perawatan koleksi serta pelayanan Perpustakaan Sekolah tidak akan berhasil, apabila Pustakawan Sekolah hanya berdiri sendiri sebagai “Penjaga Gawang Terakhir’ peradaban GLS bahkan sampai literasi baca.

C. Penutup

Sejalan dengan semangat untuk mendukung GLS tersebut, para Pustakawan Sekolah yang dibekali literasi digital dan fasilitas IT yang mumpuni, seharusnya mampu memberikan pelayanan maksimal kepada Guru dan Murid. GLS yang terbagi dalam enam kemampuan dasar literasi seperti baca-tulis, numerisasi, sains, digital, finansial, dan budaya serta kewargaaan mampu membekali para Murid dan Guru, agar mampu menjawab tantangan dunia yang semakin modern, Pustakawan Sekolah yang unggul harus berani berinisiatif, krearif, proaktif, dan inovatif, di samping harus berintegrasi dan tidak malu bersinergi dengan pengelola sekolah untuk mendukung literasi baca yang diinginkan untuk dikuasai para Murid.


Daftar Pustaka

Arkiyah, manik, “Perpustakaan Sekolah Sebagai Pusat Sumber Belajar”, Makalah (Yogyakarta: Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universita Ahmad Dahlan, 2017)


Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat bahssa Edisi Keempat (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2008)


Ibrahim, Bafadal, Pengelolaan Perpustakaan Sekolah (Jakarta: Bumi Aksara, 2014)


“Kilasan gerakan Nasional”, diunduh dari https://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/tentang-gln/ 14 Maret 2020)


Tondok, Marsluis Sampe, Menjadi Manusia Unggul dalam Millenium Ketiga ini Saatnya Bertindak dan Berubah (Jakarta: Pukat Media, 2009)


Wardi tati D., “Konsep Literasi dalam Merdeka Belajar”, Kompas, 15 Februari 2020.


Post a Comment

0 Comments